Tidak Ada
Pacaran Islami
Tidak Ada Pacaran yang Islami
pokoknya tidak ada isitilah pacaran tapi islami
pokoknya tidak ada isitilah pacaran tapi islami
Assalamu’alaikum Redaksi majalah Sakinah
rahimakumullah… Ana Fulanah dari Pati. Ana minta nasihat… Bagaimana supaya
dalam berpacaran, substansi pacaran itu bisa menjadi pacaran fii sabilillah dan
diridhai oleh Allah ta’ala dan kedua Orang Tua…?
Fulanah, Pati
Fulanah, Pati
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah, ‘alaa kulli haal. Baiklah, ana akan biarkan
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah, ‘alaa kulli haal. Baiklah, ana akan biarkan
Ukhti sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Tapi
sebelum pertanyaan itu dijawab, mari kita berdialog sedikit tentang beberapa
hal yang bisa Ukhti jadikan bantuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, definisi pacaran itu sendiri apa? Definisi
pacaran itu mungkin termasuk definisi yang paling lentur, dinamis, dan
cenderung plin-plan. Saat orang-orang tua kita dulu melarang anak-anak mereka
pacaran, artinya duduk berduaan, bercengkerama, keluar berdua, lalu menonton.
Itulah pacaran dalam definisi mereka saat itu. Kalau sebagian orang tua
mengatakan kepada anaknya sekarang ini, “Jangan pacaran dulu, kamu masih kecil,
lebih baik sekolah dulu..” Itu artinya, jangan membina hubungan serius sebagai
sepasang kekasih. Boleh keluar, berjalan-jalan, bahkan bila perlu menonton
berduaan atau ditemani yang lain, asalkan hubungannya tidak sampai pada
kisah-kasih asyik masyuk, tidak membina hubungan serius yang menyita banyak
perhatian, perasaan dan emosi, bahwa mereka akan menjadi suami istri kelak!!
Pada definisi kedua itulah sering muncul ungkapan,
“saya sama dia hanya teman dekat aja kok.” Artinya, sekadar berduaan atau
bahkan ke mana-mana berdua, belum cukup disebut sebagai implementasi dari
pacaran. Harus ada nilai lebih dari hubungan dua insan berlainan jenis, baru
disebut pacaran.
Di dunia yang sudah terlalu bebas, di negara-negara
free sex, atau di lingkungan pergaulan muda-mudi yang tergiur budaya barat
meski mereka hidup di negeri timur seperti Indonesia ini, definis pacaran
menjadi semakin kabur. Hingga tahap saling berciuman saja belum bisa disebut
pacaran. Just for sex, no more. Ini hanya hanya soal seks, tak lebih dari itu.
Bahkan pada tahap yang sudah mengerikan, hingga terjadi perzinaan sekalipun tak
bisa serta merta disebut pacaran. Makanya ada istilah one night stand, alias
hubungan seks semalam saja. Hanya untuk seks, tak lebih. Wal ‘iyaadzu billaaah.
Dengan definisi-definisi pacaran yang seperti itu,
dapatkan disebut sebuah pacaran itu islami? Dengan cara apa pacaran itu dapat
diubah menjadi hubungan yang islami alias sesuai aturan Islam? Kita bisa jawab
sendiri.
Sekarang, kita keluar dari definisi-definisi
tersebut. Anggaplah bahwa pacaran itu adalah sebuah istilah yang bebas nilai.
Tergantung yang melaksanakannya saja. Tapi, ketika semua definisi tersebut
sudah bermuara pada satu titik: hubungan serius sebagai pra pernikahan,
dapatkan sebagian dari makna definisi-definisi itu terabaikan begitu saja?
Kalau dimisalkan bisa, dan muncullah sebuah
kesempatan pacaran bisa menjadi hal yang dibenarkan syariat karena dilakukan
sesuai aturan syariat, bisakah kita menyebut istilah itu dengan pacaran?
Seperti kita menyebut jihad sebagai pembantaian yang Islami, atau madu disebut
sebagai Bir Surga misalnya, atau poligami sebagai perselingkuhan atau zina yang
Islami misalnya?
Nabi –shollallohu ‘alaih wa sallam– sudah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru kelompok manusia tertentu,
maka ia termasuk golongan mereka.”
Istilah pacaran sudah menjadi ciri khas budaya kaum
kafir bukan? Umat islam hanya datang dan menirunya. Maka, apakah hubungan
antara pria dan wanita yang dibenarkan syariat dapat dinamakan dengan nama yang
menjadi sebutan dari budaya kafir yang penuh dengan maksiat itu? Mari dijawab
sendiri secara hati-hati.
Baik…, mari kita keluar lebih jauh dari semua
definisi itu, dengan menggunakan istilah pacaran secara mandiri, tanpa pengaruh
definisi-definisi tersebut. Bagaimana kita mengubah pacaran menjadi fi
sabilillah, yang akhirnya diridhai Allah dan diridhai orang tua?
Untuk dapat diridhai oleh orang tua tidaklah terlalu
sulit. Asalkan pasangan kita disukai oleh orang tua, dan kita dianggap sudah
layak berpacaran, semua pasti beres. Apalagi si pasangan sangat baik sikapnya
terhadap orang tua, jalan akan semakin mulus. Yang menjadi masalah, tidak
setiap yang diridhai oleh kedua orang tua, berarti diridhai oleh Allah!!
Orang tua ridha maka Allah ridha, orang tua marah
maka Allah marah, itu tidak berlaku pada hukum. Perbuatan dosa tidak akan
berubah menjadi pahala, meski orang tua menyukainya. Ibadah wajib, tak lantas
berubah menjadi dosa kalau orang tua tidak menyukainya.
Kalau pertanyaannya: “Bagaimana pacaran bisa
diridhai Allah?”
Pertama, ubah dulu istilah pacaran itu menjadi ta’aaruf, perkenalan, atau sejenisnya yang bersifat lebih umum. Karena saat disebut pacaran, berbagai atribut pacaran akan gampang meluncur menghiasinya.
Pertama, ubah dulu istilah pacaran itu menjadi ta’aaruf, perkenalan, atau sejenisnya yang bersifat lebih umum. Karena saat disebut pacaran, berbagai atribut pacaran akan gampang meluncur menghiasinya.
Kedua, itu dilakukan murni untuk mengejar target menikah. Jadi tak boleh dilakukan bila belum ada niat menikah. Nabi n bersabda,
“Lihatlah terlebih dahulu (wanita) itu. Karena yang demikian itu lebih baik agar tercipta keharmonisan di antara kalian berdua.”
Dalam sabda lain, Nabi –shollallohu ‘alaih wa
sallam– menegaskan, “Kalau seseorang bisa melihat pada diri wanita sesuatu yang
bisa menggugahnya untuk menikahinya, lalukanlah…”
Jadi, perkenalan itu dengan tujuan untuk melihat,
mengenali lebih jauh, dan mencari titik keselarasan secara fisik dan emosional,
untuk bisa menjadi sepasang suami-istri. Dalam hal ini, maka proses perkenalan
tak boleh terlalu lama, dan harus menghindari hal-hal yang diharamkan oleh
Allah.
Adab Ta’aruf
Adapun adab-adab ta’aruf, sebagai berikut:
1. Menahan Pandangan
Allah berfirman,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …’” (an-Nur: 30-31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …’” (an-Nur: 30-31)
Yakni, mata tak boleh jelalatan melihat calon
pasangan atau bagian dari tubuhnya yang menggoda selera, atau memelototi
wajahnya untuk mencari kenikmatan. Melihat diperbolehkan bila untuk memastikan
kecocokan saja. Artinya, setelah segala sesuatu yang lain dianggap sudah saling
cocok, melihat sebagai penentunya.
2. Menutup aurat
Allah berfirman,
“… Dan janganlah mereka (wanita-wanita mukmin) menampilkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ….” (an-Nur: 31)
“… Dan janganlah mereka (wanita-wanita mukmin) menampilkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ….” (an-Nur: 31)
Artinya, bila harus berbicara dengan pria non
mahram, seorang wanita muslimah harus menutup aurat sebatas yang dia yakini
sebagai aurat, menurut dasar yang jelas. Kecuali saat nazhar dengan tujuan
memastikan kecocokan secara fisik, seperti tersebut di atas. Saat itu boleh
dibuka sebagian aurat, asalkan bukan untuk dinikmati, tapi sekadar memastikan
kecocokan fisik saja, maka yang dilihat juga harus sangat dibatasi.
3. Tenang dan Terhormat dalam Gerak-Gerik
Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
4. Serius dan Sopan dalam Berbicara
Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
5. Hindari Membicarakan Hal-hal yang Tidak Perlu
Allah berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…” (al-Mukminun : 1-3)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…” (al-Mukminun : 1-3)
Selanjutnya, proses pertemuan harus ditemani oleh
mahram, karena berduaan antara pria dan wanita yang belum menikah adalah haram,
sebagaimana yang kita ketahui bersama.
Terakhir, ingatlah Allah saat sedang berhadapan dengan calon pasangan. Lupa sekejap saja, setan akan hingga menyerta.(***)
Terakhir, ingatlah Allah saat sedang berhadapan dengan calon pasangan. Lupa sekejap saja, setan akan hingga menyerta.(***)
Tida ada Pacaran Islami
4/
5
Oleh
Restu